A. PEMBENTUKAN BPUPKI
Dalam situasi kritis tersebut, pada
tanggal 1 maret 1945 Letnan Jendral Kumakici Harada, pimpinan pemerintah
pendudukan Jepang di Jawa, mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Junbi Cosakai).
Pembentukan badan ini bertujuan untuk menyelidiki hal-hal penting menyangkut
pembentukan negara Indonesia merdeka. Pengangkatan pengurus ini diumumkan pada
tanggal 29 April 1945. dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat
diangkat sebagai ketua (Kaico). Sedangkan yang duduk sebagai Ketua Muda (Fuku
Kaico) pertama dijabat oleh seorang Jepang, Shucokan Cirebon yang
bernama Icibangase. R.P. Suroso diangkat sebagai
Kepala Sekretariat dengan dibantu oleh Toyohito Masuda dan Mr. A.G.
Pringgodigdo.
B. SIDANG-SIDANG BPUPKI
Pada tanggal 28 Mei 1945
dilangsungkan upacara peresmian Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan bertempat di gedung Cuo Sangi In, Jalan Pejambon (sekarang
Gedung Departemen Luar Negeri), Jakarta. Upacara peresmian itu dihadiri pula
oleh dua pejabat Jepang, yaitu : Jenderal Itagaki (Panglima Tentara
Ketujuh yang bermarkas di Singapura dan Letnan Jenderal Nagano (Panglima
Tentara Keenambelas yang baru). Pada kesempatan itu dikibarkan bendera
Jepang, Hinomaru oleh Mr. A.G. Pringgodigdo yang disusul dengan
pengibaran bendera Sang Merah Putih oleh Toyohiko Masuda. Peristiwa itu
membangkitkan semangat para anggota dalam usaha mempersiapkan kemerdekaan
Indonesia.
Sidang BPUPKI
Keesokan harinya pada tanggal 1 Juni
1945 berlangsunglah rapat terakhir dalam persidangan pertama itu. Pada
kesempatan itulah Ir. Sukarno mengemukakan pidatonya yang kemudian
dikenal sebagai “Lahirnya Pancasila”. Keistimewaan pidato Ir. Sukarno adalah
selain berisi pandangan mengenai Dasar Negara Indonesia Merdeka, juga berisi
usulan mengenai nama bagi dasar negara, yaitu : Pancasila, Trisila,
atau Ekasila. “Selanjutnya sidang memilih nama Pancasila sebagai nama
dasar negara. Lima dasar negara yang diusulkan oleh Ir. Sukarno adalah sebagai
berikut :
1. Kebangsaan Indonesia;
2. Internasionalisme
atau peri-kemanusiaan;
3. Mufakat atau
demokrasi
4. Kesejahteraan sosial;
5. Ke-Tuhanan Yang Maha
Esa.
Persidangan pertama BPUPKI berakhir pada
tanggal 1 Juni 1945. Sidang tersebut belum menghasilkan keputusan akhir
mengenai Dasar Negara Indonesia Merdeka. Selanjutnya diadakan masa “reses”
selama satu bulan lebih.
Pada tanggal 22 Juni 1945 BPUPKI
membentuk Panitia Kecil yang beranggotakan 9 orang. Oleh karena itu panitia ini
juga disebut sebagai Panitia Sembilan. Anggota-anggota Panitia Sembilan ini
adalah sebagai berikut :
1. Ir. Sukarno
2. Drs. Moh. Hatta
3. Muh. Yamin
4. Mr. Ahmad Subardjo
5. Mr. A.A. Maramis
6. Abdulkadir Muzakkir
7. K.H. Wachid Hasyim
8. K.H. Agus Salim
9. Abikusno
Tjokrosujoso.
Musyawarah dari Panitia Sembilan ini
kemudian menghasilkan suatu rumusan yang menggambarkan maksud dan tujuan
pembentukan Negara Indonesia Merdeka. Oleh Muh.Yamin rumusan itu diberi
nama Jakarta Charter atau Piagam Jakarta. Rumusan draft dasar
negara Indonesia Merdeka itu adalah :
1. Ke-Tuhanan, dengan
kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
2. (menurut) dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. (dan) kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
5. (serta dengan
mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada tanggal 10 Juli 1945 dibahas
Rencana Undang-undang Dasar, termasuk soal pembukaan atau preambule-nya
oleh sebuah Panitia Perancang Undang-undang Dasar yang diketuai oleh Ir.
Sukarno dan beranggotakan 21 orang. Pada tanggal 11 Juli 1945, Panitia
Perancang Undang-undang Dasar dengan suara bulat menyetujui isi preambule
(pembukaan) yang diambil dari Piagam Jakarta.
Selanjutnya panitia tersebut
membentuk Panitia Kecil Perancang Undang-undang Dasar yang diketuai Prof.
Dr. Mr. Supomo dengan anggotanya Mr. Wongsonegoro, Mr. Ahmad Subardjo,
Mr. A.A. Maramis, Mr. R.P. Singgih, H. Agus Salim dan Sukiman. Hasil
perumusan panitia kecil ini kemudian disempurnakan bahasanya oleh Panitia
Penghalus Bahasa yang terdiri dari Husein Djajadiningrat, Agus
Salim dan Supomo.
Persidangan kedua BPUPKI
dilaksanakan pada tanggal 14 Juli 1945 dalam rangka menerima laporan Panitia
Perancang Undang-undang Dasar. Ir. Sukarno selaku ketua panitia melaporkan tiga
hasil, yaitu :
1. Pernyataan
Indonesia Merdeka;
2. Pembukaan
Undang-undang Dasar;
3. Undang-undang
Dasar (batang tubuh);
D. PEMBENTUKAN PPKI
Pada tanggal 7 Agustus 1945 BPUPKI
dibubarkan. Sebagai gantinya pemerintah pendudukan Jepang membentuk PPKI (Dokuritsu
Junbi Inkai). Sebanyak 21 anggota PPKI yang terpilih tidak hanya terbatas
pada wakil-wakil dari Jawa yang berada di bawah pemerintahan Tentara
Keenambelas, tetapi juga dari berbagai pulau, yaitu : 12 wakil dari Jawa, 3
wakil dari Sumatera, 2 wakil dari Sulawesi, seorang dari Kalimantan, seorang
dari Sunda Kecil (Nusatenggara), seorang dari Maluku dan seorang lagi dari
golongan penduduk Cina. Ir. Sukarno ditunjuk sebagai ketua PPKI dan Drs.
Moh. Hatta ditunjuk sebagai wakil ketuanya. Sedangkan Mr. Ahmad Subardjo
ditunjuk sebagai penasehatnya.
Kepada para anggota PPKI, Gunseikan
Mayor Jenderal Yamamoto menegaskan bahwa para anggota PPKI tidak hanya
dipilih oleh pejabat di lingkungan Tentara Keenambelas, akan tetapi oleh Jenderal
Besar Terauci sendiri yang menjadi penguasa perang tertinggi di seluruh
Asia Tenggara.
Dalam rangka pengangkatan itulah,
Jenderal Besar Terauci memanggil tiga tokoh Pergerakan Nasional, yaitu Ir.
Sukarno, Drs. Moh. Hatta dan dr. Radjiman Wediodiningrat.
Pada tanggal 9 Agustus 1945 mereka berangkat menuju markas besar Terauci di
Dalat, Vietnam Selatan. Dalam pertemuan di Dalat pada tanggal 12 Agustus
1945 Jenderal Besar Terauci menyampaikan kepada ketiga tokoh itu bahwa
Pemerintah Kemaharajaan telah memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada
Indonesia. Pelaksanaannya dapat dilakukan segera setelah persiapannya selesai
oleh PPKI. Wilayah Indonesia akan meliputi seluruh bekas wilayah Hindia
Belanda.
Ketika ketiga tokoh itu berangkat
kembali menuju Jakarta pada tanggal 14 Agustus 1945, Jepang telah dibom atom
oleh Sekutu di kota Hirosima dan Nagasaki. Bahkan Uni Soviet mengingkari
janjinya dan menyatakan perang terhadap Jepang seraya melakukan penyerbuan ke
Manchuria. Dengan demikian dapat diramalkan bahwa kekalahan Jepang akan segera
terjadi. Keesokan harinya, pada tanggal 15 Agustus 1945 Sukarno-Hatta tiba
kembali di tanah air. Dengan bangganya Ir. Sukarno berkata : “Sewaktu-waktu
kita dapat merdeka; soalnya hanya tergantung kepada saya dan kemauan rakyat
memperbarui tekadnya meneruskan perang suci Dai Tao ini. Kalau dahulu
saya berkata ‘Sebelum jagung berbuah, Indonesia akan merdeka : sekarang saya
dapat memastikan Indonesia akan merdeka, sebelum jagung berbuah.” Perkataan itu
menunjukkan bahwa Ir. Sukarno pada saat itu belum mengetahui bahwa Jepang telah
menyerah kepada Sekutu.
E. PERBEDAAN PENDAPAT
ANTARA GOLONGAN TUA DAN GOLONGAN MUDA
Berita tentang kekalahan Jepang,
diketahui oleh sebagian golongan muda melalui radio siaran luar negeri. Pada
malam harinya Sutan syahrir menyampaikan berita itu kepada Moh. Hatta. Syahrir
juga menanyakan mengenai kemerdekaan Indonesia sehubungan dengan peristiwa
tersebut. Moh. Hatta berjanji akan menanyakan hal itu kepada Gunseikanbu.
Setelah yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, Moh. Hatta mengambil
keputusan untuk segera mengundang anggota PPKI.
Selanjutnya golongan muda mengadakan
rapat di salah satu ruangan Lembaga Bakteriologi di Jalan Pegangsaan Timur,
Jakarta. Rapat dilaksanakan pada tanggal 15 agustus 1945, pukul 20.30 waktu
Jawa. Rapat yang dipimpin oleh Chairul Saleh itu menghasilkan keputusan
“ kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal rakyat Indonesia
sendiri, tak dapat digantungkan pada orang dan negara lain. Segala ikatan dan
hubungan dengan janji kemerdekaan dari Jepang harus diputuskan dan sebaliknya
diharapkan diadakan perundingan dengan golongan muda agar mereka diikutsertakan
dalam pernyataan proklamasi.”
Keputusan rapat itu disampaikan oleh
Wikana dan Darwis pada pukul 22.30 waktu Jawa kepada Ir. Sukarno
di rumahnya, Jl. Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Kedua utusan tersebut
segera menyampaikan keputusan golongan muda agar Ir. Sukarno segera
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa menunggu hadiah dari Jepang.
Tuntutan Wikana yang disertai ancaman bahwa akan terjadi pertumpahan darah jika
Ir. Sukarno tidak menyatakan proklamasi keesokan harinya telah menimbulkan
ketegangan. Ir. Sukarno marah dan berkata “Ini leher saya, seretlah saya ke
pojok itu dan sudahilah nyawa saya malam ini juga, jangan menunggu sampai
besok. Saya tidak bisa melepaskan tanggungjawab saya sebagai ketua PPKI.
Karena itu saya tanyakan kepada wakil-wakil PPKI besok”. Ketegangan itu
juga disaksikan oleh golongan tua lainnya seperti : Drs. Moh. Hatta, dr.
Buntaran, dr. Samsi, Mr. Ahmad Subardjo dan Iwa Kusumasumantri.
Dalam diskusi antara Darwis dan
Wikana, Moh. Hatta berkata, “Dan kami pun tak dapat ditarik-tarik atau didesak
supaya mesti juga mengumumkan proklamasi itu. Kecuali jiak Saudara-saudara
memang sudah siap dan sanggup memproklamasikan. Cobalah! Saya pun ingin melihat
kesanggupan Saudara-saudara !” Utusan itu pun menjawab “Kalau begitu pendirian
Saudara-saudara berdua, baiklah ! Dan kami pemuda-pemuda tidak dapat menanggung
sesuatu, jika besok siang proklamasi belum juga diumumkan. Kami pemuda-pemuda
akan bertindak dan menunjukkan kesanggupan yang saudara kehendaki itu!”
F. PERISTIWA
RENGASDENGKLOK
Sekitar pukul 12.00 kedua utusan
meninggalkan halaman rumah Ir. Sukarno dengan diliputi perasaan kesal
memikirkan sikap dan perkataan sukarno-Hatta. Sesampainya mereka di tempat rapat,
mereka melaporkan semuanya. Menanggapi hal itu kembali golongan muda
mengadakan rapat dini hari tanggal 16 Agustus 1945 di asrama Baperpi, Jalan
Cikini 71, Jakarta. Selain dihadiri oleh para pemuda yang mengikuti rapat
sebelumnya, rapat ini juga dihadiri juga oleh Sukarni, Jusuf Kunto, dr.
Muwardi dari Barisan Pelopor dan Shudanco Singgih dari Daidan
PETA Jakarta Syu. Rapat ini membuat keputusan “menyingkirkan Ir. Sukarno
dan Drs. Moh. Hatta ke luar kota dengan tujuan untuk menjauhkan mereka dari
segala pengaruh Jepang”. Untuk menghindari kecurigaan dari pihak Jepang, Shudanco
Singgih mendapatkan kepercayaan untuk melaksanakan rencana tersebut.
Rencana ini berjalan lancar karena
mendapatkan dukungan perlengkapan Tentara PETA dari Cudanco Latief
Hendraningrat yang pada saat itu sedang menggantikan Daidanco
Kasman Singodimedjo yang sedang bertugas ke Bandung. Maka pada tanggal 16
Agustus 1945 pukul 04.30 waktu Jawa sekelompok pemuda membawa Ir. Sukarno dan
Drs. Moh. Hatta ke luar kota menuju Rengasdengklok, sebuah kota
kawedanan di pantai utara Kabupaten Karawang. Alasan yang mereka kemukakan
ialah bahwa keadaan di kota sangat genting, sehingga keamanan Sukarno-Hatta di
dalam kota sangat dikhawatirkan. Tempat yang dituju merupakan kedudukan sebuah cudan
(kompi) tentara PETA Rengasdengklok dengan komandannya Cudanco Subeno.
Sehari penuh Sukarno dan Hatta
berada di Rengasdengklok. Kewibawaan yang besar dari kedua tokoh ini membuat
para pemuda segan untuk melakukan penekanan lebih jauh. Namun dalam suatu
pembicaraan berdua dengan Ir. Sukarno, Shudanco Singgih beranggapan
Sukarno bersedia untuk menyatakan proklamasi segera setelah kembali ke Jakarta.
Oleh karena itulah Singgih pada tengah hari itu kembali ke Jakarta untuk
menyampaikan rencana proklamasi kepada kawan-kawannya.
Sementara itu di Jakarta para
anggota PPKI yang diundang rapat pada tanggal 16 agustus memenuhi undangannya
dan berkumpul di gedung Pejambon 2. Akan tetapi rapat itu tidak dapat dihadiri
oleh pengundangnya Sukarno-Hatta yang sedang berada di Rengasdengklok. Oleh
karena itu mereka merasa heran. Satu-satu jalan untuk mengetahui mereka adalah
melalui Wikana salah satu utusan yang bersitegang dengan Sukarno-Hatta malam
harinya. Oleh karena itulah Mr. Ahmad Subardjo mendekati Wikana. Selanjutnya
antara kedua tokoh golongan tua dan tokoh golongan muda itu tercapai
kesepakatan bahwa Proklamasi Kemerdekaan harus dilaksanakan di Jakarta. Karena
adanya kesepakatan itu, maka Jusuf Kunto dari golongan muda bersedia
mengantarkan Mr. Ahmad Subardjo bersama sekretarisnya, Sudiro (Mbah) ke
Rengasdengklok. Rombongan ini tiba pada pukul 18.00 waktu Jawa. Selanjutnya
Ahmad Subardjo memberikan jaminan dengan taruhan nyawa bahwa Proklamasi
Kemerdekaan akan diumumkan pada keesokan harinya tanggal 17 Agustus 1945 selambat-lambatnya
pukul 12.00. Dengan adanya jaminan itu, maka komandan kompi PETA
Rengasdengklok, Cudanco Subeno bersedia melepaskan Ir. Sukarno dan Drs.
Moh Hatta kembali ke Jakarta.
G. PERUMUSAN TEKS
PROKLAMASI
Rombongan tiba kembali di Jakarta
pada pukul 23.30 waktu Jawa. Setelah Sukarno dan Hatta singgah di rumah
masing-masing rombongan kemudian menuju ke rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam
Bonjol No. 1, Jakarta (sekarang Perpustakaan Nasional). Hal itu juga disebabkan
Laksamana Tadashi Maeda telah menyampaikan kepada Ahmad Subardjo
(sebagai salah satu pekerja di kantor Laksamana Maeda) bahwa ia menjamin
keselamatan mereka selama berada di rumahnya.
Sebelum mereka memulai merumuskan
naskah proklamasi, terlebih dahulu Sukarno dan Hatta menemui Somubuco (Kepala
Pemerintahan Umum) Mayor Jenderal Nishimura, untuk menjajagi sikapnya
mengenai Proklamasi Kemerdekaan. Mereka ditemani oleh Laksamana Maeda,
Shigetada Nishijima dan Tomegoro Yoshizumi serta Miyoshi sebagai
penterjemah. Pertemuan itu tidak mencapai kata sepakat. Nishimura
menegaskan bahwa garis kebijakan Panglima Tentara Keenambelas di Jawa adalah
“dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang
tidak diperbolehkan lagi merubah status quo (status politik Indonesia).
Sejak tengah hari sebelumnya tentara Jepang semata-mata sudah merupakan alat
Sekutu dan diharuskan tunduk kepada sekutu”. Berdasarkan garis kebijakan itu
Nishimura melarang Sukarno-Hatta untuk mengadakan rapat PPKI dalam rangka
proklamasi kemerdekaan.
Sampailah Sukarno-Hatta pada
kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi membicarakan kemerdekaan Indonesia
dengan pihak Jepang. Akhirnya mereka hanya mengharapkan pihak Jepang tidak
menghalang-halangi pelaksanaan proklamasi yang akan dilaksanakan oleh rakyat
Indonesia sendiri. Maka mereka kembali ke rumah Laksamana Maeda. Sebagai tuan
rumah Maeda mengundurkan diri ke lantai dua. Sedangkan di ruang makan, naskah
proklamasi dirumuskan oleh tiga tokoh golongan tua, yaitu : Ir. Sukarno,
Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad Subardjo. Peristiwa ini disaksikan
oleh Miyoshi sebagai orang kepercayaan Nishimura, bersama dengan tiga
orang tokoh pemuda lainnya, yaitu : Sukarni, Mbah Diro dan B.M. Diah.
Sementara itu tokoh-tokoh lainnya, baik dari golongan muda maupun golongan tua
menunggu di serambi muka.
Ir. Sukarno yang menuliskan konsep
naskah proklamasi, sedangkan Drs. Moh. Hatta dan Mr Ahmad Subardjo
menyumbangkan pikiran secara lisan. Kalimat pertama dari naskah proklamasi
merupakan saran dari Mr. Ahmad Subardjo yang diambil dari rumusan
BPUPKI. Sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran dari Drs.
Moh. Hatta. Hal itu disebabkan menurut beliau perlu adanya tambahan
pernyataan pengalihan kekuasaan (transfer of sovereignty). Sehingga
naskah proklamasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut :
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini
menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-2 jang mengenai
pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselengarakan dengan tjara seksama dan dalam
tempoh jang sesingkat-singkatnja
Djakarta, 17 – 8 –‘05
Wakil-2 bangsa Indonesia,
Pada pukul 04.30 waktu Jawa konsep
naskah proklamasi selesai disusun. Selanjutnya mereka menuju ke serambi muka
menemui para hadirin yang menunggu. Ir. Sukarno memulai membuka pertemuan
dengan membacakan naskah proklamasi yang masih merupakan konsep tersebut. Ir.
Sukarno meminta kepada semua hadirin untuk menandatangani naskah proklamasi
selaku wakil-wakil bangsa Indonesia. Pendapat itu diperkuat oleh Moh. Hatta
dengan mengambil contoh naskah “Declaration of Independence” dari
Amerika Serikat. Usulan tersebut ditentang oleh tokoh-tokoh pemuda. Karena
mereka beranggapan bahwa sebagian tokoh-tokoh tua yang hadir adalah
“budak-budak” Jepang. Selanjutnya Sukarni, salah satu tokoh golongan
muda, mengusulkan agar yang menandatangani naskah proklamasi cukup
Sukarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Setelah usulan Sukarni itu
disetujui, maka Ir. Sukarno meminta kepada Sajuti Melik untuk mengetik
naskah tulisan tangan Sukarno tersebut, dengan disertai perubahan-perubahan
yang telah disepakati. Ada tiga perubahan yang terdapat pada naskah ketikan
Sajuti Melik, yaitu : kata “tempoh” diganti “tempo”, sedangkan kata
“wakil-wakil bangsa Indonesia” diganti dengan “Atas nama bangsa Indonesia”.
Perubahan juga dilakukan dalam cara menuliskan tanggal, yaitu “Djakarta,
17-8-05” menjadi “Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ‘05”. Sehingga naskah
proklamasi ketikan Sajuti Melik itu, adalah sebagai berikut :
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini
menjatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan
kekoeasaan d.l.l., diselengarakan dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang
sesingkat-singkatnja
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen
‘05
Atas nama bangsa Indonesia,
Soekarno/Hatta
(tandatangan Sukarno)
(tandatangan Hatta)
Selanjutnya timbul persoalan dimanakah
proklamasi akan diselenggarakan. Sukarni mengusulkan bahwa Lapangan Ikada
(sekarang bagian tenggara lapangan Monumen Nasional) telah dipersiapkan bagi
berkumpulnya masyarakat Jakarta untuk mendengar pembacaan naskah Proklamasi.
Namun Ir. Sukarno menganggap lapangan Ikada adalah salah satu lapangan umum
yang dapat menimbulkan bentrokan antara rakyat dengan pihak militer Jepang.
Oleh karena itu Bung Karno mengusulkan agar upacara proklamasi dilaksanakan di
rumahnya, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 dan disetujui oleh para hadirin.
H. PELAKSANAAN
PROKLAMASI KEMERDEKAAN 17 AGUSTUS 1945
Pada pukul 05.00 waktu Jawa tanggal
17 Agustus 1945, para pemimpin Indonesia dari golongan tua dan golongan muda
keluar dari rumah Laksamana Maeda. Mereka pulang ke rumah masing-masing setelah
berhasil merumuskan naskah proklamasi. Mereka telah sepakat untuk
memproklamasikan kemerdekaan pada pukul 10.30 waktu Jawa atau pukul 10.00 WIB
sekarang. Sebelum pulang Bung Hatta berpesan kepada para pemuda yang bekerja di
kantor berita dan pers, utamanya B.M. Diah untuk memperbanyak teks proklamasi
dan menyiarkannya ke seluruh dunia.
Pagi hari itu, rumah Ir. Sukarno
dipadati oleh sejumlah massa pemuda yang berbaris dengan tertib. Untuk menjaga
keamanan upacara pembacaan proklamasi, dr. Muwardi (Kepala Keamanan Ir.
Sukarno) meminta kepada Cudanco Latief Hendraningrat untuk
menugaskan anak buahnya berjaga-jaga di sekitar rumah Ir. Sukarno. Sedangkan
Wakil Walikota Suwirjo memerintahkan kepada Mr. Wilopo untuk
mempersiapkan pengeras suara. Untuk itu Mr. Wilopo dan Nyonopranowo
pergi ke rumah Gunawan pemilik toko radio Satria di Jl. Salemba Tengah
24, untuk meminjam mikrofon dan pengeras suara. Sudiro yang pada waktu
itu juga merangkap sebagai sekretaris Ir. Sukarno memerintahkan kepada S.
Suhud (Komandan Pengawal Rumah Ir. Sukarno) untuk menyiapkan tiang bendera.
Suhud kemudian mencari sebatang bambu di belakang rumah. Bendera yang akan
dikibarkan sudah dipersiapkan oleh Nyonya Fatmawati.
Menjelang pukul 10.30 para pemimpin
bangsa Indonesia telah berdatangan ke Jalan Pegangsaan Timur. Diantara mereka
nampak Mr. A.A. Maramis, Ki Hajar Dewantara, Sam Ratulangi, K.H. Mas Mansur,
Mr. Sartono, M. Tabrani, A.G. Pringgodigdo dan sebagainya. Adapun susunan
acara yang telah dipersiapkan adalah sebagai berikut:
Pertama, Pembacaan Proklamasi;
Kedua, Pengibaran Bendera Merah
Putih;
Ketiga, Sambutan Walikota Suwirjo
dan Muwardi.
Lima menit sebelum acara dimulai,
Bung Hatta datang dengan berpakaian putih-putih. Setelah semuanya siap, Latief
Hendraningrat memberikan aba-aba kepada seluruh barisan pemuda dan mereka
pun kemudian berdiri tegak dengan sikap sempurna. Selanjutnya Latif
mempersilahkan kepada Ir. Sukarno dan Moh. Hatta. Dengan suara yang mantap Bung
Karno mengucapkan pidato pendahuluan singkat yang dilanjutkan dengan pembacaan
teks proklamasi.
Acara dilanjutkan dengan pengibaran
bendera Merah Putih. S. Suhud mengambil bendera dari atas baki yang
telah disediakan dan mengikatkannya pada tali dengan bantuan Cudanco Latif
Hendraningrat. Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa dikomando para
hadirin spontan menyanyikan Indonesia Raya. Acara selanjutnya adalah
sambutan dari Walikota Suwirjo dan dr. Muwardi.
Berita proklamasi yang sudah meluas
di seluruh Jakarta disebarkan ke seluruh Indonesia. Pagi hari itu juga, teks
proklamsi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Berita Domei, Waidan
B. Palenewen. Segera ia memerintahkan F. Wuz untuk menyiarkan tiga
kali berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz menyiarkan berita itu, masuklah orang
Jepang ke ruangan radio. Dengan marah-marah orang Jepang itu memerintahkan agar
penyiaran berita itu dihentikan. Tetapi Waidan memerintahkan kepada F. Wuz
untuk terus menyiarkannya. Bahkan berita itu kemudian diulang setiap setengah
jam sampai pukul 16.00 saat siaran radio itu berhenti. Akibatnya, pucuk
pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita itu. Dan
pada hari Senin tanggal 20 Agustus 1945 pemancar itu disegel dan pegawainya
dilarang masuk.
Walaupun demikian para tokoh pemuda
tidak kehilangan akal. Mereka membuat pemancar baru dengan bantuan beberapa
orang tehnisi radio, seperti : Sukarman, Sutamto, Susilahardja
dan Suhandar. Sedangkan alat-alat pemancar mereka ambil bagian-demi
bagian dari kantor betita Domei, kemudian dibawa ke Jalan Menteng 31. Maka
terciptalah pemancar baru di Jalan Menteng 31. Dari sinilah seterusnya berita
proklamasi disiarkan.
Selain lewat radio, berita
proklamasi juga disiarkan lewat pers dan surat selebaran. Hampir seluruh harian
di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita proklamasi
dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar